Notification

×

Iklan

Iklan

Konflik Lahan 106 Hektare: WRC dan DAD Desak PT Arutmin Tunjukkan Itikad Baik

Sabtu, 16 Agustus 2025 | Agustus 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-16T13:49:31Z




Dewan Adat Dayak

Poto : Peoplenews. Id


Banjarbaru, Peoplenews. Id – Sengketa lahan seluas 106 hektare di Desa Kintapura, Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, kembali mencuat. Watch Relation of Corruption (WRC) bersama Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Selatan dan keluarga besar Hj. Sanawiyah mendesak PT Arutmin Indonesia untuk segera menyelesaikan pembayaran ganti rugi yang hingga kini belum terealisasi. Sabtu (16/8)

Ketua WRC, melalui konferensi pers di Banjarbaru, menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima kuasa dari Hj. Sanawiyah sejak 30 Juni 2025 untuk mengawal proses penyelesaian sengketa. “Kami menilai PT Arutmin belum menunjukkan itikad baik dalam penyelesaian ganti rugi. Padahal, dokumen Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dan bukti kepemilikan sah sudah jelas,” tegasnya.

Kronologi Persoalan

3 Juli 2025, WRC menggelar pertemuan dengan pihak PT Arutmin Indonesia Site Asam-asam, meminta agar perusahaan melakukan pembayaran ganti rugi kepada kelompok Hj. Sanawiyah HM. Namun, hingga kini, pembayaran belum dilakukan.

7 Juli 2025, WRC melayangkan surat pemberitahuan terkait pemasangan spanduk pengawasan lahan.

9 Juli 2025, spanduk dipasang di lokasi lahan sengketa yang saat ini digunakan sebagai tempat pembuangan limbah tambang (overburden/OB).

17 Juli 2025, WRC mengirimkan surat somasi kepada PT Arutmin.

23 Juli 2025, surat pemberitahuan aksi dilayangkan ke Polda Kalimantan Selatan.

28 Juli 2025, keluarga besar Hj. Sanawiyah bersama DAD Kalsel melakukan aksi damai, menuntut ganti rugi.

13 Agustus 2025, WRC dan keluarga besar Hj. Sanawiyah kembali menagih janji penyelesaian, namun belum ada kepastian dari PT Arutmin.

Dalam pernyataan resmi, WRC dan DAD menyampaikan tiga tuntutan utama:

1. Pengakuan resmi bahwa lahan 106 hektare tersebut adalah milik kelompok Hj. Sanawiyah sesuai dokumen SKPT dan bukti sah.

2. Pembayaran ganti rugi secara layak dan segera atas kerugian yang ditimbulkan akibat aktivitas tambang, termasuk pembuangan limbah/OB.

3. Kepastian hukum dan waktu penyelesaian, agar tidak menimbulkan konflik sosial dan budaya berkepanjangan.

WRC dan DAD menegaskan, jika hingga konferensi pers ini PT Arutmin tidak menunjukkan komitmen penyelesaian, maka aksi lanjutan akan digelar bersama masyarakat adat. Bahkan, ritual adat besar berupa pemotongan babi di area tambang disebut akan dilakukan sebagai simbol perlawanan.

“Segala konsekuensi sosial dan budaya akibat pembiaran ini bukan tanggung jawab masyarakat adat, melainkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab PT Arutmin Indonesia,” demikian pernyataan tertulis WRC-PAN RI.

Konflik lahan antara kelompok Hj. Sanawiyah dan PT Arutmin Indonesia menambah panjang daftar persoalan agraria di Kalimantan Selatan. Hingga kini, publik menantikan langkah nyata perusahaan tambang batu bara tersebut untuk menyelesaikan kewajiban ganti rugi secara adil dan transparan.


Ebi


TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update